Kini pukul 4
sore, waktunya para pegawai pulang dari kantor. Hujan deras di depan membuat
orang-orang termasuk aku memilih untuk sejenak berada di kantor hingga hujan reda.
ketika orang-orang menunggu hujan reda di depan dan loby kantor, aku lebih
memilih untuk kembali keruangan kerjaku. Merapikan meja kerja yang masih
berantakan dengan kertas-kertas yang berserakan dimana-mana, seorang cleaning
service masuk keruanganku dan ikut membantu membersihkan lalu dia berkata
kepadaku.
"Hujannya
semakin deras bu, mau saya buatkan kopi hangat? itu kan kesukaan ibu."
"Ehm,
boleh deh. mba' tau saja kalau saya ingin minum kopi." jawabku tersenyum
kepada celaning service itu, ia pun berjalan keluar dari ruanganku.
Aku biasa dipanggil Kiki, hanya ketika di kantor saja aku
mendapat panggilan tambahan Bu didepannya. Beberapa menit kemudian, ia datang
kembali dengan nampan berisi kopi hangat. Lalu ia menaruhnya di meja kerjaku
dengan tersenyum hangat padaku dan kembali keluar dari ruanganku. Aku berdiri
dari sofa panjang dekat dengan kaca besar yang mengarah ke jalanan depan
kantor, mengambil kopi yang telah dibuatkan dan menaruhnya di meja biasa
samping sofa panjang. Melihat cleaning service tadi mengingatkanku pada sesuatu,
tetapi bukan sesuatu seperti benda namun kenangan kepada sosok yang mendidikku
hingga menjadikan aku bisa seperti ini. Seorang penjual makanan dan minuman
angkringan yang biasa ku panggil ibu.
Ayah dan ibu adalah seorang pedagang angkringan sederhana.
Gerobak usang yang berwara coklat tua didapatkan dari tetangga yang dekat
dengan ayah. Sebelum itu, ayah adalah seoorang kuli bangunan panggilan dan ibu
hanyalah buruh cuci di kampungku. Ayah dan ibu adalah orang yang dianggap ramah
dan jujur oleh para tetangga. Sahabat ayah sejak SMA adalah Pak Narno yang
bekerja sebagai pedagang angkringan saat itu. Namun, karena anak pertama Pak
Narno sudah menjadi orang yang sukses akhirnya keluarga mereka pindah ke rumah
baru anaknya. Gerobak tua yang dipakai oleh ayah adalah pemberian Pak Narno.
Namun, 4 tahun
kemudian ayah meninggal. Kami sangat sedih sekali, rumah kami dipenuhi oleh
orang-orang. Tidak hanya tetangga kampung kami saja, bahkan orang-orang berdasi
rapi juga datang ke rumah kecil kami. Sejak saat itu, ibu berdagang angkringan
sendirian walaupun kadang-kadang aku ikut dengan ibu. Tempat kami berdagang ada
di depan gerai fotocopyan, kami juga selalu melewati gedung yang besar dengan
kaca-kaca yang besar, aku pun membayangkan bagaimana rasanya melihat dari kaca
yang berada di lantai atas gedung itu. Sepertinya sangat menarik dan
menakutkan. Kata ibu gedung itu adalah bank tempat untuk kita menabung,
dalamnya sangat ramai, indah dan juga dingin. Dulu ibu sangat ingin bekerja di
gedung yang namanya bank itu.
Ketika aku membantu
ibu untuk merapikan makanan di dalam gerobak, ibu selalu memberikan
nasihat-nasihatnya melalui cerita-cerita yang diberikan kepadaku. Kejujuran
adalah nomor satu yang ibu berikan kepadaku. Ada orang yang membeli makanan
kami mungkin karena orang itu terburu-buru, ia lantas pergi dan lupa uang
kembaliannya. Untung saja karena orang itu besoknya kembali lagi ke angkringan
kami, ibu langsung memberitahu ke orang itu dan orang itu membeli beberapa
makanan lagi dan mengatakan ke ibu bahwa ia menambah beberapa makanan dan uang
kembaliannya diberikan untuk ibu.
Yang kedua adalah
kesabaran. Dulu ibu pernah dikeroyoki oleh orang-orang karena dianggap telah
mencuri motor, wajah ibu dipenuhi luka lebam membiru dan darah di pelipis
matanya. Lalu ibu dibawa ke kantor polisi, selama 3 hari ibu ditahan. Aku
sering menangis ketika itu dan kakakku, kak Ina mengantarkanku ke tempat ibu. Namun,
anehnya ibu sama sekali tidak merasa sedih, ibu juga sempat berkata padaku,
“Apa yang perlu
ditangisi dan disedihkan jika itu memang bukan kesalahan kita, jika memang
sudah ditakdirkan ya dijalani saja dan berdoa semoga pencuri sebenarnya segera
bertaubat.”
Ternyata benar yang
dikatakan oleh ibu, orang itu telah tertangkap karena bukti pencuriannya
direkam oleh kamera pengintai milik gerai fotocopyan. Ibu langsung dibebaskan
dan orang-orang yang mengeroyoki ibu langsung meminta maaf dan malu. Ibuku
memang orang yang sangat hebat, dalam keadaan sepeti itu ibu tetap tenang dan
sabar.
Ketika pengumuman
kelulusan SMA ibu sudah tidak sabar menunggu amplop berwarna putih nanti yang
diberikan pada ibu. Ibu masuk ke dalam kelas dan aku hanya ingin menunggu di
depan kelas. Beberapa menit kemudian, ibu sudah keluar dari kelas dan
menghampiriku yang saat itu penasaran dengan nilai yang aku dapatkan. Ibu duduk
di sampingku dan memelukku erat sekali, terlihat air yang mengalir dari ujung
matanya lalu ia seka dengan ujung jarinya. Diberikannya amplop putih itu
padaku, kubuka perlahan. Dengan rasa yang campur aduk yang tidak dapat
kujelaskan, tulisan disurat itu ‘Selamat anda lulus’ ternyata ada 1 surat lagi
didalamnya ‘Selamat Anda Lulus Dengan Nilai Terbaik Se-provinsi’ bukan main
rasanya melihat surat yang ku pegang saat ini. Aku menatap ibu yang melihatku
dengan penuh rasa bangga. Aku menangis dipelukan ibu, ibu mengusap kepalaku
dengan halus dan penuh kasih sayang.
Aku melanjutkan
kuliah disalah satu perguruan tinggi di kotaku. Mengambil jurusan di fakultas
akuntansi adalah pilihanku. Bagaimanapun juga ini bukan hanya keinginanku saja,
tapi juga keinginan ibu yang sudah terpendam dalam dirinya sejak lama. Aku juga
mendapatkan beasiswa hingga aku lulus sarjana nantinya. Saat itu, aku fokus
dengan kuliahku dan tidak melakukan hal-hal lain seperti remaja kebanyakan.
Kata ibu,
“Ada saatnya kita
untuk merasakan hal itu dan sekarang mungkin kamu belum merasakannya karena
kamu memang ditakdirkan untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya.”
Walaupun aku tidak
melakukan hal-hal seperti teman-temanku, aku tetap bisa menyesuaikan diri untuk
berteman bersama mereka. Aku juga pernah didekati oleh kakak seniorku, tetapi
aku hanya menganggapnya seperti teman-temanku pada umumnya.
Dari tahun ke tahun
yang keluarga kami lalui bersama, semakin lama ibu semakin tua dan fisiknya
mulai lemah. Ibu tetap memaksakan untuk tetap berdagang, walaupun ibu sudah
tidak harus membayar uang sekolahku lagi. Ibu berkata padaku,
“Gunakan waktu
sebaik-baiknya, jika ada waktu luang maka harus digunakan untuk beraktifitas
dengan sebaik baiknya, kalo ibu hanya diam di rumah justru badan ibu akan
terasa pegal-pegal dan sakit, lagipula sendirian di rumah itu tidak
menyenangkan.”
Aku hanya bisa
menuruti perkataan ibu dan mengambil isi dari perkataan inu karena pasti itu
adalah sebuah nasihat yang diberikan ibu kepadaku untuk aku lakukan juga jika
aku mempunyai waktu luang nantinya.
Akhir-akhir ini
wajah ibu sangat pucat. Terakhir kali ibu jatuh karena pusing ketika hendak pulang
dari pasar namun, sorenya ia tetap ingin berdagang angkringan seperti biasanya.
Ibu bilang kalau semakin lama kebtuhan kita semakin banyak kaena aku bertumbuh
dewasa jadi ibu harus punya tabungan uang setidaknya sedikit demi sedikit
menjadi bukit dan bisa digunakan untuk keperluan mendadak suatu saat nanti. Ibu
selalu menasihatiku dengan perkataanya yang halus, walaupun aku khawatir dengan
keadaan ibu saat ini namun aku bangga kepadanya karena ia dapat menutupi
perasaannya yang sedih dengan senyum dan kebahagiannya. Ibu juga tidak pernah
menangis di depanku. Jika ibu mempunyai masalah ibu tidak langsung
mengatakannya padaku tapi mengatasi masalahnya sendirian terlebih dahulu jika
tidak bisa diselesaikan ibu baru minta bantuanku. Aku juga pernah bertemu
dengan teman ibu ketika hendak pergi berdagang. Teman ibu itu mengatakan kalau
aku sangat mirip sekali dengan ibu, ibu juga adalah orang yang baik terhadap
semua orang walaupun tidak semua orang menyukainya, katanya ibu juga pernah
membantu ia ketika anaknya sakit parah, ibu meminjamkan sedikit uang kepada
temannya itu, begitulah yang diceritakan teman ibu tentang ibuku. Ibuku memang
orang yang baik.
Beberapa tahun
kemudian, aku lulus kuliah dengan nilai akhir yang memuaskan dan aku pun juga diterima
kerja di bank dekat tempat angkringan kami. Ini adalah hal yang sangat
mengejutkan, berpuluh-puluh tahun ibu ingin sekali bekerja di bank ini tapi
tidak bisa ia lakukan. Kini aku yang menggantikan keinginan ibu untuk bisa
bekerja di tempat ini, benar kata ibu bank ini ramai, indah dan dingin. Awal
masuk kerja aku bekerja sebagai pegawai biasa, dan aku masih belum terbiasa
dengan alat pendingin ruangan yang bernama AC itu. Aku jadi sering menggigil
dan flu. Setahun bekerja kini aku mulai terbiasa, aku dekat dengan siapa saja
walaupun orang itu jabatannya lebih tinggi daripada aku. Aku berangkat dan
pulang bekerja pun juga terbiasa dengan berjalan kaki walaupun sebenarnya
uangku cukup untuk membeli sebuah motor. Ketika pulang aku selalu mampir ke
angkringan untuk membantu-bantu ibu sebentar. Angkringan kami jadi bertambah
ramai karena teman-teman kerjaku juga sudah mulai menikmati makanan di
angkringan kami. Masakan ibu memang masakan yang paling enak, aku juga sangat
suka kopi buatan ibu, walaupun sebenarnya cara membuatnya sama dengan
orang-orang namun tedapat tambahan kasih sayang yang diberikan ibu untuk setiap
makanan dan minuman yang dibuatnya.
Kali ini kondisi
ibu memang mengkhawatirkan, ibu pingsan di tempat angkringan kami. Aku
diberitahu oleh karyawan lain kalu ibu pingsan. Aku panik dan langsung meminta
izin untuk mengantarkan ibu ke rumah sakit. 30 menit ibu diperiksa oleh dokter,
dokter keluar dari ruangan ibu dirawat dan mengajakku untuk bicara di ruang
kerja dokter. Aku dipersilahkan duduk dan dokter mulai bicara. Dokter mengatakan
ibu terkena leukimia. Aku sangat merasa terkejut. Aku menangis melihat ibu
terbaring lemah di kasur.
2 hari kemudian,
aku naik pangkat, yang mebuatku terkejut adalah aku menjadi direktur utama
bank. Aku sudah tidak sabar memberitahu kabar bahagia ini kepada ibu. Sepulang
kerja aku menengok ibu. Bercerita kepada ibu soal kenaikan pangkatku. Ibu
mengatakan dengan suara lirih,
“Kamu barhasil
anakku, tetapi jabatan bukanlah segalanya yang penting kamu bisa melakukan
amanah yang diberikan padamu. Selalu ingat nasihat ibu, karena itu adalah bekal
hidupmu nak. Ibu bangga sekali kamu juga bisa membayar keinginan ibu untuk
bekerja di bank itu.”
Iya, ibu aku tidak
akan melupakan nasihatmu. Esoknya aku menengok ibu kembali, namun dokter mengatakan
bahwa ibuku sudah tiada. Seketika tangisku pecah, aku menangis dengan kencang
sambil memeluk erat ibu. Ibu dimakamkan di samping makam ayah. Banyak sekali
orang yang mengahantarkan ibu ke tempat peristirahaten terakhirnya. Semoga kau
tenang disana ibu.
Suara seseorang
mengejutkanku, ternyata cleaning service memanggilku sejak tadi, ia mengatakan
bahwa hujan sudah reda dan kantor akan segera dikunci. Aku pun mengiyakan dengan
tersenyum hangat padanya. Aku mengambil tas di kursi dan melihat keluar
sejenak, ibu kini aku bisa melihat jalanan itu dari kaca besar di lantai atas.
Terima kasih ibu, nasihatmu selalu ku ingat, perjuaganmu tidak akan ku lupakan.