Rabu, 14 Mei 2014

Ibuku adalah Inspirasiku



Kini pukul 4 sore, waktunya para pegawai pulang dari kantor. Hujan deras di depan membuat orang-orang termasuk aku memilih untuk sejenak berada di kantor hingga hujan reda. ketika orang-orang menunggu hujan reda di depan dan loby kantor, aku lebih memilih untuk kembali keruangan kerjaku. Merapikan meja kerja yang masih berantakan dengan kertas-kertas yang berserakan dimana-mana, seorang cleaning service masuk keruanganku dan ikut membantu membersihkan lalu dia berkata kepadaku.

"Hujannya semakin deras bu, mau saya buatkan kopi hangat? itu kan kesukaan ibu."
"Ehm, boleh deh. mba' tau saja kalau saya ingin minum kopi." jawabku tersenyum kepada celaning service itu, ia pun berjalan keluar dari ruanganku.

Aku biasa dipanggil Kiki, hanya ketika di kantor saja aku mendapat panggilan tambahan Bu didepannya. Beberapa menit kemudian, ia datang kembali dengan nampan berisi kopi hangat. Lalu ia menaruhnya di meja kerjaku dengan tersenyum hangat padaku dan kembali keluar dari ruanganku. Aku berdiri dari sofa panjang dekat dengan kaca besar yang mengarah ke jalanan depan kantor, mengambil kopi yang telah dibuatkan dan menaruhnya di meja biasa samping sofa panjang. Melihat cleaning service tadi mengingatkanku pada sesuatu, tetapi bukan sesuatu seperti benda namun kenangan kepada sosok yang mendidikku hingga menjadikan aku bisa seperti ini. Seorang penjual makanan dan minuman angkringan yang biasa ku panggil ibu.
Ayah dan ibu adalah seorang pedagang angkringan sederhana. Gerobak usang yang berwara coklat tua didapatkan dari tetangga yang dekat dengan ayah. Sebelum itu, ayah adalah seoorang kuli bangunan panggilan dan ibu hanyalah buruh cuci di kampungku. Ayah dan ibu adalah orang yang dianggap ramah dan jujur oleh para tetangga. Sahabat ayah sejak SMA adalah Pak Narno yang bekerja sebagai pedagang angkringan saat itu. Namun, karena anak pertama Pak Narno sudah menjadi orang yang sukses akhirnya keluarga mereka pindah ke rumah baru anaknya. Gerobak tua yang dipakai oleh ayah adalah pemberian Pak Narno.
Namun, 4 tahun kemudian ayah meninggal. Kami sangat sedih sekali, rumah kami dipenuhi oleh orang-orang. Tidak hanya tetangga kampung kami saja, bahkan orang-orang berdasi rapi juga datang ke rumah kecil kami. Sejak saat itu, ibu berdagang angkringan sendirian walaupun kadang-kadang aku ikut dengan ibu. Tempat kami berdagang ada di depan gerai fotocopyan, kami juga selalu melewati gedung yang besar dengan kaca-kaca yang besar, aku pun membayangkan bagaimana rasanya melihat dari kaca yang berada di lantai atas gedung itu. Sepertinya sangat menarik dan menakutkan. Kata ibu gedung itu adalah bank tempat untuk kita menabung, dalamnya sangat ramai, indah dan juga dingin. Dulu ibu sangat ingin bekerja di gedung yang namanya bank itu.
Ketika aku membantu ibu untuk merapikan makanan di dalam gerobak, ibu selalu memberikan nasihat-nasihatnya melalui cerita-cerita yang diberikan kepadaku. Kejujuran adalah nomor satu yang ibu berikan kepadaku. Ada orang yang membeli makanan kami mungkin karena orang itu terburu-buru, ia lantas pergi dan lupa uang kembaliannya. Untung saja karena orang itu besoknya kembali lagi ke angkringan kami, ibu langsung memberitahu ke orang itu dan orang itu membeli beberapa makanan lagi dan mengatakan ke ibu bahwa ia menambah beberapa makanan dan uang kembaliannya diberikan untuk ibu.
Yang kedua adalah kesabaran. Dulu ibu pernah dikeroyoki oleh orang-orang karena dianggap telah mencuri motor, wajah ibu dipenuhi luka lebam membiru dan darah di pelipis matanya. Lalu ibu dibawa ke kantor polisi, selama 3 hari ibu ditahan. Aku sering menangis ketika itu dan kakakku, kak Ina mengantarkanku ke tempat ibu. Namun, anehnya ibu sama sekali tidak merasa sedih, ibu juga sempat berkata padaku,
“Apa yang perlu ditangisi dan disedihkan jika itu memang bukan kesalahan kita, jika memang sudah ditakdirkan ya dijalani saja dan berdoa semoga pencuri sebenarnya segera bertaubat.”
Ternyata benar yang dikatakan oleh ibu, orang itu telah tertangkap karena bukti pencuriannya direkam oleh kamera pengintai milik gerai fotocopyan. Ibu langsung dibebaskan dan orang-orang yang mengeroyoki ibu langsung meminta maaf dan malu. Ibuku memang orang yang sangat hebat, dalam keadaan sepeti itu ibu tetap tenang dan sabar.
Ketika pengumuman kelulusan SMA ibu sudah tidak sabar menunggu amplop berwarna putih nanti yang diberikan pada ibu. Ibu masuk ke dalam kelas dan aku hanya ingin menunggu di depan kelas. Beberapa menit kemudian, ibu sudah keluar dari kelas dan menghampiriku yang saat itu penasaran dengan nilai yang aku dapatkan. Ibu duduk di sampingku dan memelukku erat sekali, terlihat air yang mengalir dari ujung matanya lalu ia seka dengan ujung jarinya. Diberikannya amplop putih itu padaku, kubuka perlahan. Dengan rasa yang campur aduk yang tidak dapat kujelaskan, tulisan disurat itu ‘Selamat anda lulus’ ternyata ada 1 surat lagi didalamnya ‘Selamat Anda Lulus Dengan Nilai Terbaik Se-provinsi’ bukan main rasanya melihat surat yang ku pegang saat ini. Aku menatap ibu yang melihatku dengan penuh rasa bangga. Aku menangis dipelukan ibu, ibu mengusap kepalaku dengan halus dan penuh kasih sayang.
Aku melanjutkan kuliah disalah satu perguruan tinggi di kotaku. Mengambil jurusan di fakultas akuntansi adalah pilihanku. Bagaimanapun juga ini bukan hanya keinginanku saja, tapi juga keinginan ibu yang sudah terpendam dalam dirinya sejak lama. Aku juga mendapatkan beasiswa hingga aku lulus sarjana nantinya. Saat itu, aku fokus dengan kuliahku dan tidak melakukan hal-hal lain seperti remaja kebanyakan. Kata ibu,
“Ada saatnya kita untuk merasakan hal itu dan sekarang mungkin kamu belum merasakannya karena kamu memang ditakdirkan untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya.”
Walaupun aku tidak melakukan hal-hal seperti teman-temanku, aku tetap bisa menyesuaikan diri untuk berteman bersama mereka. Aku juga pernah didekati oleh kakak seniorku, tetapi aku hanya menganggapnya seperti teman-temanku pada umumnya.
Dari tahun ke tahun yang keluarga kami lalui bersama, semakin lama ibu semakin tua dan fisiknya mulai lemah. Ibu tetap memaksakan untuk tetap berdagang, walaupun ibu sudah tidak harus membayar uang sekolahku lagi. Ibu berkata padaku,
“Gunakan waktu sebaik-baiknya, jika ada waktu luang maka harus digunakan untuk beraktifitas dengan sebaik baiknya, kalo ibu hanya diam di rumah justru badan ibu akan terasa pegal-pegal dan sakit, lagipula sendirian di rumah itu tidak menyenangkan.”
Aku hanya bisa menuruti perkataan ibu dan mengambil isi dari perkataan inu karena pasti itu adalah sebuah nasihat yang diberikan ibu kepadaku untuk aku lakukan juga jika aku mempunyai waktu luang nantinya.
Akhir-akhir ini wajah ibu sangat pucat. Terakhir kali ibu jatuh karena pusing ketika hendak pulang dari pasar namun, sorenya ia tetap ingin berdagang angkringan seperti biasanya. Ibu bilang kalau semakin lama kebtuhan kita semakin banyak kaena aku bertumbuh dewasa jadi ibu harus punya tabungan uang setidaknya sedikit demi sedikit menjadi bukit dan bisa digunakan untuk keperluan mendadak suatu saat nanti. Ibu selalu menasihatiku dengan perkataanya yang halus, walaupun aku khawatir dengan keadaan ibu saat ini namun aku bangga kepadanya karena ia dapat menutupi perasaannya yang sedih dengan senyum dan kebahagiannya. Ibu juga tidak pernah menangis di depanku. Jika ibu mempunyai masalah ibu tidak langsung mengatakannya padaku tapi mengatasi masalahnya sendirian terlebih dahulu jika tidak bisa diselesaikan ibu baru minta bantuanku. Aku juga pernah bertemu dengan teman ibu ketika hendak pergi berdagang. Teman ibu itu mengatakan kalau aku sangat mirip sekali dengan ibu, ibu juga adalah orang yang baik terhadap semua orang walaupun tidak semua orang menyukainya, katanya ibu juga pernah membantu ia ketika anaknya sakit parah, ibu meminjamkan sedikit uang kepada temannya itu, begitulah yang diceritakan teman ibu tentang ibuku. Ibuku memang orang yang baik.
Beberapa tahun kemudian, aku lulus kuliah dengan nilai akhir yang memuaskan dan aku pun juga diterima kerja di bank dekat tempat angkringan kami. Ini adalah hal yang sangat mengejutkan, berpuluh-puluh tahun ibu ingin sekali bekerja di bank ini tapi tidak bisa ia lakukan. Kini aku yang menggantikan keinginan ibu untuk bisa bekerja di tempat ini, benar kata ibu bank ini ramai, indah dan dingin. Awal masuk kerja aku bekerja sebagai pegawai biasa, dan aku masih belum terbiasa dengan alat pendingin ruangan yang bernama AC itu. Aku jadi sering menggigil dan flu. Setahun bekerja kini aku mulai terbiasa, aku dekat dengan siapa saja walaupun orang itu jabatannya lebih tinggi daripada aku. Aku berangkat dan pulang bekerja pun juga terbiasa dengan berjalan kaki walaupun sebenarnya uangku cukup untuk membeli sebuah motor. Ketika pulang aku selalu mampir ke angkringan untuk membantu-bantu ibu sebentar. Angkringan kami jadi bertambah ramai karena teman-teman kerjaku juga sudah mulai menikmati makanan di angkringan kami. Masakan ibu memang masakan yang paling enak, aku juga sangat suka kopi buatan ibu, walaupun sebenarnya cara membuatnya sama dengan orang-orang namun tedapat tambahan kasih sayang yang diberikan ibu untuk setiap makanan dan minuman yang dibuatnya.
Kali ini kondisi ibu memang mengkhawatirkan, ibu pingsan di tempat angkringan kami. Aku diberitahu oleh karyawan lain kalu ibu pingsan. Aku panik dan langsung meminta izin untuk mengantarkan ibu ke rumah sakit. 30 menit ibu diperiksa oleh dokter, dokter keluar dari ruangan ibu dirawat dan mengajakku untuk bicara di ruang kerja dokter. Aku dipersilahkan duduk dan dokter mulai bicara. Dokter mengatakan ibu terkena leukimia. Aku sangat merasa terkejut. Aku menangis melihat ibu terbaring lemah di kasur.
2 hari kemudian, aku naik pangkat, yang mebuatku terkejut adalah aku menjadi direktur utama bank. Aku sudah tidak sabar memberitahu kabar bahagia ini kepada ibu. Sepulang kerja aku menengok ibu. Bercerita kepada ibu soal kenaikan pangkatku. Ibu mengatakan dengan suara lirih,
“Kamu barhasil anakku, tetapi jabatan bukanlah segalanya yang penting kamu bisa melakukan amanah yang diberikan padamu. Selalu ingat nasihat ibu, karena itu adalah bekal hidupmu nak. Ibu bangga sekali kamu juga bisa membayar keinginan ibu untuk bekerja di bank itu.”
Iya, ibu aku tidak akan melupakan nasihatmu. Esoknya aku menengok ibu kembali, namun dokter mengatakan bahwa ibuku sudah tiada. Seketika tangisku pecah, aku menangis dengan kencang sambil memeluk erat ibu. Ibu dimakamkan di samping makam ayah. Banyak sekali orang yang mengahantarkan ibu ke tempat peristirahaten terakhirnya. Semoga kau tenang disana ibu.
Suara seseorang mengejutkanku, ternyata cleaning service memanggilku sejak tadi, ia mengatakan bahwa hujan sudah reda dan kantor akan segera dikunci. Aku pun mengiyakan dengan tersenyum hangat padanya. Aku mengambil tas di kursi dan melihat keluar sejenak, ibu kini aku bisa melihat jalanan itu dari kaca besar di lantai atas. Terima kasih ibu, nasihatmu selalu ku ingat, perjuaganmu tidak akan ku lupakan.

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar