Seorang
lelaki tua itu, berjalan sambil mendorong becaknya di gang kecil itu.
Pakaiannya lusuh, mukanya pucat mengeluarkan keringat, dan sepotong kain di
bahunya tampak sangat lusuh. Namanya Pak Abdullah, dia bekerja sebagai seorang
tukang becak yang sering mangkal di pasar dekat rumahnya. Dengan hati-hati ia
mendorong becaknya, lalu ia berhenti di pinggir jalan dan duduk di samping
tiang listrik. Dikeluarkannya secarik kertas-kertas yang berharga dari celana
yang sudah tidak sempurna. Dihitung lembaran-lembaran kertas itu, lalu ia
berkata sambil tersenyum, ”alhamdulillah..” dengan senang Pak Abdullah pun
beranjak pulang.
Saat
melewati sebuah sekolah, Pak Abdullah berhenti dan mencari-cari seseorang.
Namun, sesorang yang dicarinya belum terlihat, akhirnya ia memutuskan untuk
bertanya kepada penjaga sekolah itu.
“Permisi
pak.. saya mau tanya anak kelas sebelas kira-kira pulang jam berapa ya, pak??”
“Kalo
yang kelas sebelas 5 menit lagi sudah pulang pak.” Jawab ramah penjaga itu.
“Terima
kasih pak.” Pak Abdullah kembali ke becaknya dan menunggu seseorang.
Tak
lama anak-anak pun keluar dari sekolah, seorang gadis yang sedang berjalan
keluar dari sekolah bersama 3 temannya. Shinta, Mika, Sabrin dan Runi. Saat
mereka asyik berbincang tiba-tiba mata Shinta terbelalak melihat ayahnya yang
berada di depan sekolahnya sedang mencari-carinya. Teman-teman Shinta bingung
melihat raut wajah Shinta yang nampak khawatir. Dengan perasaan yang gelisah
Shinta segera mengajak teman-temannya
untuk masuk ke sekolah kembali. Tak diragukan, Shinta meminta
teman-temannya kembali ke dalam sekolah agar ayahnya tidak melihat ia dan
teman-temannya, jika ayahnya memanggilnya akan ketahuan bahwa Shinta hanyalah
anak seorang tukang becak. Shinta malu harus mengakui bahwa ayanhnya hanyalah
seorang tukang becak, jelas saja karena teman-temannya adalah anak dari orang
terhormat dan kaya raya, apalagi ia sekolah di sekolah terbaik di kota itu
dengan siswa yang rata-rata keseluruhannya adalah anak-anak orang kaya. Shinta
pun bisa masuk di sekolah itu karena ia mendapatkan beasiswa dari sekolah itu.
Namun sifat Shinta berubah setelah ia masuk sekolah itu, ia merasa iri dan
gengsi terhadap teman-temannya yang dengan mudahnya mendapatkan barang-barang
apapun yang disukai mereka sedangkan Shinta hanyalah seorang anak tukang becak
yang penghasilannya tidak tentu. Dan semenjak itu Shinta sering meminta uang
saku berlebihan tiap harinya pada ayahnya.
Namun
ketika Shinta sudah di gerbang ayahnya melihatnya dan memanggilnya, dengan
cepat Shinta menyuruh teman-temannya untuk menunggunya di dalam sekolah. Shinta
pun dengan perasaan jengkel menghampiri ayahnya.
“Shin..
ba..” ucap ayahnya namun,
“Ayah
ngapain sih ke sekolah Shinta, kan udah Shinta bilangin jangan pernah nemuin
Shinta kalo ada temen-temen Shinta ayah!! Ayah tau gak sih, kalo temen-temen
tau ayah Shinta kayak gimana nanti pasti Shinta dijauhin sama mereka ayah!!”
Shinta dengan kasar tega membentak-bentak ayahnya sendiri. Air mata pun mentes
dari ujung mata yang terlihat menderita, seorang anak yang ia banggakan dulunya
kini berubah dan tega-teganya memarahinya.
“Ma..ma..maafkan
ayah, ayah hanya ingin melihatmu nak, ayah ingin sekali pulang bersamamu, jika
tidak mau juga tidak apa-apa, bapak akan pergi sekarang.” Ucap ayahnya dengan
nada yang sedih, Pak Abdullah pun pergi meninggalkan Shinta. Dengan hati yang
sedih, Pak Abdullah mengayuh pedal becaknya sangat pelan.
Shinta lalu masuk ke sekolah untuk menemui
teman-temannya kembali. Tapi, teman-temannya sama sekali sudah tidak ada di
sekolah, akhirnya Shinta pun memilih untuk pulang. Ketika di jalan, Shinta
merasa bahwa diikuti oleh seseorang, Shinta pun mempercepat jalannya, namun apa
mau dikata, orang itu pun memegang lengan Shinta denga sangat erat hingga
membuat Shinta terkejut dan merasa kesakitan.
“Eh
eneng mau kemana?? Mau pulang ya neng? Abang anterin sini.. barangnya abang
bawain sekalian supaya neng gak keberatan.” Rayu seorang preman yag sering
mangkal di gang-gang kampung itu.
“Iiiih..
lepasin aku mau pulang.. pergi sana!!!” ucap Shinta lalu mendorong preman itu
hingga terjatuh di tanah. Sang preman pun sangat marah karena diperlakukan
seperti itu, akhirnya kejar-kejaran antara si preman dengan Shinta terjadi,
Shinta yang bingung harus memilih jalan yang mana, namun ia tetap terus berlari
sekuat tenaganya. Shinta pun melihat ke belakang tidak ada tanda-tanda bahwa si
preman akan menyusulnya.
“Dasar
cemen!! Bodoh!! Badan doang yang gede.. tenaganya gak ada!! Preman aneh!!” ucap
Shinta sangat senang karena si preman tidak terlihat mengejar-ngejarnya lagi.
Namun, tiba-tiba si preman sudah ada di belakangnya dan memegang tas yang di
punggungnya, shinta pun tersentak dan menjerit, “Tolong!! Tolong!!” namun
keadaan jalan saat itu sangat sepi. Pada saat itu kebetulan ayah Shinta
melewati jalan itu karena jalan yang biasa dilewati sedang dalam perbaikan.
Ketika itu pun juga Pak Abdullah pun langsung meminggirkan becaknya dan
cepat-cepat menghampiri anaknya. Sang preman pun sudah mengeluarkan pisau dari
balik jaket yang mengerikan itu, Shinta tidak tahu harus berbuat apa, Shinta
hanya bisa pasrah pada saat itu. Sang preman pun sudah mengayunkan pisau itu ke
perut Shinta, namun tak diduga Shinta terjatuh, Shinta pun melihat sosok orang
yang medorongnya, dia adalah Pak Abdullah ayahnya, melihat pisau yang salah
sasaran, sang preman pun pergi ketakutan.
Pak Abdullah pun tergeletak lemah
tak berdaya di tanah, Shinta yang melihat keadaan ayahnya seperti itu langsung
berlari medekati ayahnya. Dalam keadaan seperti ini Pak Abdullah tetap
tersenyum pada anaknya. Pak Abullah dengan sisa tenaganya berkata pada Shinta
“Anakku
yang paling.. ayah sayang, ayah bersyukur diberi anugrah memiliki anak yang
cantik, pintar, namun ayah tidak ingin jika kamu sesat anakku, seburuk-buruk
orang belum tentu hatinya buruk.. ayah tahu kamu sangat ingin seperti
teman-temanmu, memiliki apa yang dia inginkan, tapi bersyukurlah dengan apa
yang terjadi sekarang, walaupun susah kita tidak boleh bersedih, ayah ingin kamu
jadi anak yang sholehah, jadi anak yang dapat dicontoh oleh anak-anak yang
lain, kamu adalah anak yang terbaik, ayah bangga padamu anakku..” ucap Pak
Abdullah dengan lirih.
“Ayah..
maafin Shinta udah buat ayah jadi begini..ma..ma..maafin Shinta yah.. Shita
bersalah ayah.. Shinta sayang sama ayah..!” Shinta pun akhirnya menyesal
“laailaahaillaah...”
Pak Abdullah pun menghembuskan nafas terakhirnya pada saat itu
“Ayah...
ayah.. jangan pergi!!! jangan tingalin Shanti ayah.. Shanti sayang sama ayah”
pada akhirnya pun Shanti menyesal dengan perbuatan yang telah dilakukan kepada
ayahnya.
0 komentar:
Posting Komentar