Kamis, 06 Maret 2014

Ayahku Pergi


Seorang lelaki tua itu, berjalan sambil mendorong becaknya di gang kecil itu. Pakaiannya lusuh, mukanya pucat mengeluarkan keringat, dan sepotong kain di bahunya tampak sangat lusuh. Namanya Pak Abdullah, dia bekerja sebagai seorang tukang becak yang sering mangkal di pasar dekat rumahnya. Dengan hati-hati ia mendorong becaknya, lalu ia berhenti di pinggir jalan dan duduk di samping tiang listrik. Dikeluarkannya secarik kertas-kertas yang berharga dari celana yang sudah tidak sempurna. Dihitung lembaran-lembaran kertas itu, lalu ia berkata sambil tersenyum, ”alhamdulillah..” dengan senang Pak Abdullah pun beranjak pulang.
Saat melewati sebuah sekolah, Pak Abdullah berhenti dan mencari-cari seseorang. Namun, sesorang yang dicarinya belum terlihat, akhirnya ia memutuskan untuk bertanya kepada penjaga sekolah itu.
“Permisi pak.. saya mau tanya anak kelas sebelas kira-kira pulang jam berapa ya, pak??”
“Kalo yang kelas sebelas 5 menit lagi sudah pulang pak.” Jawab ramah penjaga itu.
“Terima kasih pak.” Pak Abdullah kembali ke becaknya dan menunggu seseorang.
Tak lama anak-anak pun keluar dari sekolah, seorang gadis yang sedang berjalan keluar dari sekolah bersama 3 temannya. Shinta, Mika, Sabrin dan Runi. Saat mereka asyik berbincang tiba-tiba mata Shinta terbelalak melihat ayahnya yang berada di depan sekolahnya sedang mencari-carinya. Teman-teman Shinta bingung melihat raut wajah Shinta yang nampak khawatir. Dengan perasaan yang gelisah Shinta segera mengajak teman-temannya  untuk masuk ke sekolah kembali. Tak diragukan, Shinta meminta teman-temannya kembali ke dalam sekolah agar ayahnya tidak melihat ia dan teman-temannya, jika ayahnya memanggilnya akan ketahuan bahwa Shinta hanyalah anak seorang tukang becak. Shinta malu harus mengakui bahwa ayanhnya hanyalah seorang tukang becak, jelas saja karena teman-temannya adalah anak dari orang terhormat dan kaya raya, apalagi ia sekolah di sekolah terbaik di kota itu dengan siswa yang rata-rata keseluruhannya adalah anak-anak orang kaya. Shinta pun bisa masuk di sekolah itu karena ia mendapatkan beasiswa dari sekolah itu. Namun sifat Shinta berubah setelah ia masuk sekolah itu, ia merasa iri dan gengsi terhadap teman-temannya yang dengan mudahnya mendapatkan barang-barang apapun yang disukai mereka sedangkan Shinta hanyalah seorang anak tukang becak yang penghasilannya tidak tentu. Dan semenjak itu Shinta sering meminta uang saku berlebihan tiap harinya pada ayahnya.
Namun ketika Shinta sudah di gerbang ayahnya melihatnya dan memanggilnya, dengan cepat Shinta menyuruh teman-temannya untuk menunggunya di dalam sekolah. Shinta pun dengan perasaan jengkel menghampiri ayahnya.
“Shin.. ba..” ucap ayahnya namun,
“Ayah ngapain sih ke sekolah Shinta, kan udah Shinta bilangin jangan pernah nemuin Shinta kalo ada temen-temen Shinta ayah!! Ayah tau gak sih, kalo temen-temen tau ayah Shinta kayak gimana nanti pasti Shinta dijauhin sama mereka ayah!!” Shinta dengan kasar tega membentak-bentak ayahnya sendiri. Air mata pun mentes dari ujung mata yang terlihat menderita, seorang anak yang ia banggakan dulunya kini berubah dan tega-teganya memarahinya.
“Ma..ma..maafkan ayah, ayah hanya ingin melihatmu nak, ayah ingin sekali pulang bersamamu, jika tidak mau juga tidak apa-apa, bapak akan pergi sekarang.” Ucap ayahnya dengan nada yang sedih, Pak Abdullah pun pergi meninggalkan Shinta. Dengan hati yang sedih, Pak Abdullah mengayuh pedal becaknya sangat pelan.
   Shinta lalu masuk ke sekolah untuk menemui teman-temannya kembali. Tapi, teman-temannya sama sekali sudah tidak ada di sekolah, akhirnya Shinta pun memilih untuk pulang. Ketika di jalan, Shinta merasa bahwa diikuti oleh seseorang, Shinta pun mempercepat jalannya, namun apa mau dikata, orang itu pun memegang lengan Shinta denga sangat erat hingga membuat Shinta terkejut dan merasa kesakitan.
“Eh eneng mau kemana?? Mau pulang ya neng? Abang anterin sini.. barangnya abang bawain sekalian supaya neng gak keberatan.” Rayu seorang preman yag sering mangkal di gang-gang kampung itu.
“Iiiih.. lepasin aku mau pulang.. pergi sana!!!” ucap Shinta lalu mendorong preman itu hingga terjatuh di tanah. Sang preman pun sangat marah karena diperlakukan seperti itu, akhirnya kejar-kejaran antara si preman dengan Shinta terjadi, Shinta yang bingung harus memilih jalan yang mana, namun ia tetap terus berlari sekuat tenaganya. Shinta pun melihat ke belakang tidak ada tanda-tanda bahwa si preman akan menyusulnya.
“Dasar cemen!! Bodoh!! Badan doang yang gede.. tenaganya gak ada!! Preman aneh!!” ucap Shinta sangat senang karena si preman tidak terlihat mengejar-ngejarnya lagi. Namun, tiba-tiba si preman sudah ada di belakangnya dan memegang tas yang di punggungnya, shinta pun tersentak dan menjerit, “Tolong!! Tolong!!” namun keadaan jalan saat itu sangat sepi. Pada saat itu kebetulan ayah Shinta melewati jalan itu karena jalan yang biasa dilewati sedang dalam perbaikan. Ketika itu pun juga Pak Abdullah pun langsung meminggirkan becaknya dan cepat-cepat menghampiri anaknya. Sang preman pun sudah mengeluarkan pisau dari balik jaket yang mengerikan itu, Shinta tidak tahu harus berbuat apa, Shinta hanya bisa pasrah pada saat itu. Sang preman pun sudah mengayunkan pisau itu ke perut Shinta, namun tak diduga Shinta terjatuh, Shinta pun melihat sosok orang yang medorongnya, dia adalah Pak Abdullah ayahnya, melihat pisau yang salah sasaran, sang preman pun pergi ketakutan.
            Pak Abdullah pun tergeletak lemah tak berdaya di tanah, Shinta yang melihat keadaan ayahnya seperti itu langsung berlari medekati ayahnya. Dalam keadaan seperti ini Pak Abdullah tetap tersenyum pada anaknya. Pak Abullah dengan sisa tenaganya berkata pada Shinta
“Anakku yang paling.. ayah sayang, ayah bersyukur diberi anugrah memiliki anak yang cantik, pintar, namun ayah tidak ingin jika kamu sesat anakku, seburuk-buruk orang belum tentu hatinya buruk.. ayah tahu kamu sangat ingin seperti teman-temanmu, memiliki apa yang dia inginkan, tapi bersyukurlah dengan apa yang terjadi sekarang, walaupun susah kita tidak boleh bersedih, ayah ingin kamu jadi anak yang sholehah, jadi anak yang dapat dicontoh oleh anak-anak yang lain, kamu adalah anak yang terbaik, ayah bangga padamu anakku..” ucap Pak Abdullah dengan lirih.
“Ayah.. maafin Shinta udah buat ayah jadi begini..ma..ma..maafin Shinta yah.. Shita bersalah ayah.. Shinta sayang sama ayah..!” Shinta pun akhirnya menyesal
“laailaahaillaah...” Pak Abdullah pun menghembuskan nafas terakhirnya pada saat itu

“Ayah... ayah.. jangan pergi!!! jangan tingalin Shanti ayah.. Shanti sayang sama ayah” pada akhirnya pun Shanti menyesal dengan perbuatan yang telah dilakukan kepada ayahnya. 

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar